Beranda > Hukum Islam Di Berbagai Negara Muslim, Tugas Kelompok > Hukum Islam di Negara Malaysia

Hukum Islam di Negara Malaysia

Oleh: Nurin

I. LATAR BELAKANG

Sebelum datangnya penjajah, hukum Islam yang berlaku di Malaysia adalah hukum Islam bercampur hukum adat[1]. Dengan ungkapan lain, oleh Abdul Monir bin Yaacob, seorang yang banyak menulis tentang perundang-undangan di Malaysia, undang-undang yang berlaku di negara-negara Melayu sebelum campur tangan Inggris adalah adat pepateh untuk kebanyakan orang-orang Melayu di negeri Sembilan dan beberapa kawasan Naning di Malaka, dan adat temenggung di bagian-bagian lain di Semenanjung.[2] Ketika berkuasa di Malaysia, Inggris memperkenalkan dan menerapkan UU Inggris secara berangsur-angsur, yang akhirnya menggantikan Undang-undang Islam.

Pada periode tradisional, Sultan merupakan pejabat agama dan politik yang tertinggi, sekalipun demikian, mereka hanya sedikit memiliki peranan aktual administrasi hukum, pendidikan, dan peribadatan Muslim. Ulama pedesaan merupakan perwakilan Islam yang terpenting. Mereka menyelenggarakan peribadatan, memimpin upcara perkawinan dan kematian, mengumpulkan pajak Islam (zakat), dan lain sebagainya.

Antara tahun 1884 dan 1904, Raja Muda Sulaiman, penguasa Selangor, mengkodifikasikan hukum perkawinan dan perceraian, mengangkat sejumlah qadi, dan memberlakukan hukum Islam dalam perkara perdata dan pidana.[3]

Malaysia dengan Konstitusinya tahun (1957 dan telah diubah tahun 1964 ) dengan tegas menyatakan bahwa Islam adalah negara Federasi tersebut [pasal 3 ayat (1) Konstitusi Malaysia tanggal 23 Agustus 1957, diubah tanggal 1 Maret 1964 dan diubah lagi dalam tahun 1971].[4]

Ketentuan itu menunjukkan bahwa Federasi Malaysia adalah suatu negara yang mencantumkan dengan resmi Islam sebagai agama negara. Sebagaimana kita ketahui asas equality before the law adalah adalah suatu asas yang dikenal dalam tradisi rule of law misalnya di Inggris, mungkin saja pengaruh rule of law terhadap pasal tersebut dapat terjadi.

II. PEMBAHASAN

1. Selayang pandang UU di Malaysia

Konstitusi Malaysia yaitu prinsip-prinsip musyawarah, keadilan, persamaan, dan kebebasan. Tentang prinsip musyawarah dalam Konstitusi Malaysia tidak dijumpai secara tegas pengaturan mengenai prinsip ini, sedangkan prinsip-prinsip keadilan dan persamaan Malaysia antara lain telah menerapkan prinsip-prinsip itu melalui pasal 7 dan 8 konstitusinya. Pasal 7 ayat (1) berbunyi[5]:

” Bahwa tiada seorangpun yang akan dihukum karena suatu perbuatan atau kelalaian yang tidak dapat dihukum oleh undang-undang ketika perbuatan atau kelalaian itu dilakukan.

Tentang implementasi prinsip kebebasan antara lain dapat dibaca dalam pasal 10 ayat (1) a, b, dan c, Konstitusi Malaysia yang intinya adalah bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan bebicara dan menyatakan pendapat. Semua warga negara mempunyai hak untuk berkumpul dan berserikat.

Dalam pasal 2 diatur tentang kemungkinan pembatasan terhadap hak-hak tersebut oleh parlemen apabila ternyata batasan itu dilakukan untuk keamanan negara, hubungan persahabatan dengan negara-negara lain, ketertiban umum dan moralitas dijadikan sebagai salah satu dasar pembatasan kebebasan sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (1) a, b, dan c, itu. Ini menandakan bahwa Federasi Malaysia sangat memperhatikan moralitas yang ada dalam ajaran Islam, dikenal dengan sebutan akhlak sebagai salah satu komponen dasar dalam Islam.[6]

Hukum Islam keluarga, salah satu hukum status personal yang paling maju dan tercerahkan dalam dunia Muslim, diamendir untuk lebih memudahkan perceraian dan poligami bagi laki-laki dan untuk mengurangi tanggung jawab finansial mereka terhadap perempuan. Perempuan kehilangan haknya untuk mendapatkan biaya hidup jika ia tidak tunduk kepada suaminya, mereka bertanggungjawab atas biaya hidup anaknya yang tidak sah, perempuan kehilangan haknya untuk mendapatkan tanggungan keuangan jika ia melakukan fahisyah ( tindakan keji, seperti zina ).[7]

2. Hukum Keluarga di Malaysia

i. Poligami

Berdasarkan UU perkawinan Malaysia tentang boleh atau tidaknya seorang laki-laki melakukan poligami, ada tiga hal yang perlu dibicarakan, yakni: (i) syarat-syarat, (ii) alasan-alasan pertimbangan boleh tidaknya poligami, dan ( iii ) prosedur. Dalam perundang-undangan Malaysia tidak ada penegasan tentang prinsip perkawinan.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi, pertama, poligami tanpa izin lebih dahulu dari pengadilan tidak boleh didaftarkan; kedua, poligami tanpa izin lebih dahulu dari pengadilan boleh didaftarkan dengan syarat lebih dahulu membayar denda atau menjalani hukuman yang telah ditentukan.[8]

Alasan-alasan pertimbangan bagi pengadilan untuk memberi izin atau tidak ada tiga pihak (1) pihak isteri, (2) pihak suami, dan (3) pihak orang-orang yang terkait. Adapun yang bersumber dari pihak isteri adalah: karena kemandulan; keudzuran jasmani; karena kondisi fisik yang tidak layak atau tidak mungkin melakukan hubungan seksual; sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan, atau isteri gila.

Sedang pertimbangan dari pihak suami, yang sekaligus menjadi syarat boleh berpoligami, adalah:

  1. suami mempunyai kemampuan untuk menanggung semua biaya isteri-isteri dan orang-orang yang akan menjadi tanaggungannya kelak dngan perkawinannya tersebut;
  2. suami berusaha berbuat adil di antara para isterinya.

Adapun pertimbangan dari pihak orang-orang terkait, yang lebih tepat disebut orang-orang yang terkena akibat dari poligami, adalah (i) bahwa perkawinan tersebut tidak menjadikan isteri-isteri yang sudah dinikahi menjadi dimudaratkan, (ii) poligami tersebut tidak merendahkan langsung terhadap tarap hidup (martabat) orang-orang yang sebelumnya menjadi tanggungannya.

Sedang prosedur untuk berpoligami ada tiga langkah:

1. Suami mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin dari hakim, bersama persetujuan atau izin dari pihak isteri/isteri-isterinya.

2. Pemanggilan pemohon dan isteri atau isteri-isteri, sekaligus pemeriksaan oleh pengadilan terhadap kebenaran pemohon.

  1. Putusan pengadilan berupa penerimaan atau penolakkan terhadap permohonan pemohon.

Suami yang melakukan poligami yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ditetapkan, secara umum dapat dikenai hukuman berupa hukuman denda maksimal seribu ringgit[9] atau kurungan maksimal enam bulan atau keduanya.

ii. Pencatatan perkawinan

Proses pencatatan secara prinsip dilakukan setelah selesai aqad nikah bagi orang yang melakukan perkawinan di luar Malaysia tidak sesuai dengan aturan yang ada adalah perbuatan melanggar hukum dan dapat dikenakan dengan hukuman denda maksimal seribu ringgit atau penjara maksimal enam bulan atau kedua-duanya[10]. Fungsi pencatatan hanya urusan atau syarat adminstrasi, tidak ada hubungannya dengan syarat sah atau tidaknya pernikahan (aqad nikah).

iii. Wali dalam perkawinan

Perundang-undangan (perkawinan) Malaysia juga mengharuskan (wajib) adanya wali dalam perkawinan, tanpa wali perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Dalam perundang-undangan keluarga Malaysia, pada prinsipnya, wali nikah adalah wali nasab. Hanya saja dalam kondisi tertentu posisi wali nasab dapat diganti oleh wali hakim (di Malaysia disebut wali raja).

iv. Perceraian

Adapun alasan perceraian dalam perundang-undangan Keluarga Muslim di negara-negara Malaysia sama dengan alasan-alasan terjadinya fasakh. Dalam undang-undang perak dan pahang ada lima alasan, yaitu:

(a) suami impoten atau mati pucuk;

(b) suami gila, mengidap penyakit kusta, atau vertiligo, atau mengidap penyakit kelamin yang bisa berjangkit, selama isteri tidak rela dengan kondisi tersebut;

(c) izin atau persetujuan perkawinan dari isteri (mempelai putri) diberikan secara tidak sah, baik karena paksaan kelupaan, ketidak sempurnaan akal atau alasan-alasan lain yang sesuai dengan syariat;

(d) pada waktu perkawinan suami sakit syaraf yang tidak pantas kawin;

(e) atau alasan-alasan lain yang sah untuk fasakh menurut syariah.

Adapun sebab-sebab terjadinya perceraian dalam Undang-undang Muslim Malaysia mayoritas menetapkan empat sebab dengan proses masing-masing, yakni:

(i) perceraian dengan talak atau perintah mentalak;

(ii) tebus talak;

(iii) syiqaq;

Hanya Undang-undang serawak yang mencantumkan sebab lian.

Proses atau langkah-langkah perceraian dengan talak, secra umum adalah sebagai berikut: pertama, mengajukan permohonan perceraian ke pengadilan, yang disertai dengan alasan. Kedua, pemeriksaan yang meliputi pemanggilan oleh pihak-pihak oleh pengadilan dan mengusahakan pengadilan. Ketiga, putusan.

Juru damai yang diangkat dalam proses perdamaian diutamakan dari keluarga dekat yang berperkara. Kalau juru damai yang diangkat dianggap kurang mampu menjalankan tugasnya, bisa diganti dengan juru damai lain yang dianggap lebih mampu. Adapun masa usaha mendamaikan adalah maksimal enam bulan, atau lebih denga persetujuan pengadilan, kecuali Kelantan yang menetapkan tiga bulan. Kalau para pihak tidak mau didamaikan, pegawai yang ditunjuk harus membuat laporan dan melampirkan hal-hal yang perlu dipikirkan kaitannya dengan akibat perceraian, seperti nafkah dan pemeliharaan anak sebelum dewasa, pembagian harta dan lain-lain.

Dalam proses peradamaian ada kemungkinan mendatangkan pengacara atau pembela, dengan izin juru damai. Setelah usaha perdamaian itu tidak membuahkan hasil, pengadilan mengadakan sidang untuk ikrar talak, yang idealnya diikrarkan oleh suami.

Adapun proses perceraian dengan tebus talak, kalau sudah disepakati kedua belah pihak, adalah setelah pihak-pihak menyetujuinya dan menyelesaikan pembayaran yang sudah disetujui, pengadilan menyuruh suami untuk melakukan ikrar talak, dan talaknya akan jatuh talak bain sughra (tidak boleh dirujuk lagi).

Proses perceraian dengan taklik talak adalah isteri melapor tentang terjadinya pelanggaran taklik talak. Kalau pihak pengadilan mempertimbangkan benar terjadi, maka diadakan sidang perceraian yang kemudian direkam untuk dicatatkan.

Sedangkan proses perceraian karena ada masalah di anatara para pihak (syiqaq), pada dasarnya mempunyai proses yang sama dengan proses perceraian talak yang tidak disetujui salah satu pihak dan proses tebus talak, yakni didahului dengan pengangkatan juru damai sampai putusan cerai, kalau tidak bisa didamaikan. Bahkan Kelantan membuat proses yang sama antara talak dan syiqaq. Karena itu secara prinsip, dalam proses perceraian dengan talak, tebus talak, taklik talak, dan percekcokkan, antara sumi isteri mempunyai hak yang sama, dan pada akhirnya untuk dapat bercerai harus dengan persetujuan bersama atau keputusan Pengadilan Agama.

Hal-hal lain yang penting dicatat tentang proses perceraian adalah pertama, ikrar talak (perceraian) harus di depan pengadilan. Kedua, perceraian harus didaftarkan, dan perceraian yang diakui hanyalah perkawinan yang sudah didaftarkan. Seorang janda boleh kawin lagi kalau sudah mempunyai :

(i) surat yang dikeluarkan berdasarkan undang-undang; atau

(ii) salinan perceraian; atau

(iii) pengakuan cerai dari hakim.

Demikian juga seorang yang ditinggal mati boleh nikah lagi kalau sudah mempunyai surat keterangan kematian.[11]

Tentang perceraian sebab li’an tidak ada penjelasan lebih rinci. Hanya disebutkan agar Pengadilan merekam perceraian dengan li’an. Sebagai tambahan, semua undang-undang di Malaysia mencantumkan murtad sebagai alasan perceraian. Tetapi tidak dengan sendirinya terjadi perceraian, melainkan dengan putusan hakim.

III. KESIMPULAN

Malaysia adalah sebuah negara yang berasaskan negara Islam. Undang-undangnya pun bersumber atau menggunakan hukum Islam, meskipun ada sebagian sumber hukumnya yang mengadopsi dan bersumber dari produk hukum Inggris, sebagaimana kita ketahui, Malaysia adalah bekas jajahan dari negara Inggris, ironis sekali kalau undang-undangnya tidak mengambil dari pada hukum negara tersebut. Dalam masalah hukum perdata Malaysia memberlakukan aturan hukum yang berbeda-beda, tidak semua penerapan hukum yang berlaku di Malaysia sama, akan tetapi bergantung atas hukum wilayah masing-masing khususnya masalah hukum perdata..

DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, Ulil Abshar, Islam Dan Barat, FNS Indonesia – Pusat studi Islam Paramadina; 2003, Cet. I

Peaslee, Amos, Constitusion Of Nations, The Hague: Martinus Nijof, 1974

Azhary, Muhammad Tahir, Prof. Dr., H., Negara Hukum, Kencana; 2003, Cet. I

Yacob, Abdul Monir, Pelaksanaan Undang-Undang Islam Dalam Mahkamah Syari’ah Dan Mahkamah Sivil di Malaysia, Kuala Lumpur; Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), 1995

Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, ( Bgn 3), Jakarta; PT. Grafindo Persada, 1999, cet. I

Nasution, Khoirudin, Status Wanita Di Asia Tenggara, Leiden – Jakarta; INIS, 2002


[1] Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, (Lieden – Jakarta, INIS, 2002), h. 62

[2] Abdul Monir Yaacob, Pelaksanaan Undang-Undang Islam dalam Mahkamah Syariah dan Mahkamah Sivil di Malaysia, (Kuala Lumpur- IKIM, 1995), h. 8-9

[3] Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam (bgn3), (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1999), cet. I h. 353

[4] Amos Peaslee, Constitusion Of Nations, ( The Hague: Martinus Nijof, 1974), h. 662

[5] Muhammad Tahir Azhary, Prof., Dr., H., Negara Hukum, (Kencana, 2003), Cet. I, h. 216-217.

[6] Ibid, h. 217-218

[7] Ulil Abshar Abdalla, Islam dan Barat, Demokrasi dalam Masyarakat Islam, (FNS Indonesia dan Pusat Studi Islam Paramadina, 2002), Cet. I, h. 85-86.

[8] Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, (Lieden – Jakarta, INIS, 2002), h. 111-112.

[9] Jumlah seribu ringgit kalau di jadikan rupiah pada bulan oktober 2002, akan menjadi Rp. 2.250.000, (Dua juta lima ratus lima puluh ribu rupiah)

[10] Ibid, h. 151.

[11] Ibid, h. 243.

  1. rizka
    13 April 2010 pukul 12:13

    mas..buku refrensi status wanita di asia tenggara karangan khoiruddin nasution itu dpet dimana ya mas?
    saya cari ga ada lagi,,,saya butuh banget buat tugas akhir..tolong infonya ya mas

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar